Di Jalan Para Pahlawan
Selasa, 10 November 2015
Add Comment
Kelangsungan dan kenikmatan hidup yang kita rasakan sampai hari ini adalah anugerah Allah melalui perjuangan dan pengorbanan orang-orang sebelum kita. Dalam skala keluarga, kita temukan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu. Ibu dengan susah payah mengandung anaknya selama sembilan bulan, mempertaruhkan nyawanya di detik-detik kelahiran, lalu dengan kasih sayang dan kesabaran merawat dan membesarkan anaknya. Dalam skala bangsa, kita temukan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan. Mereka berjuang habis-habisan dan mengorbankan semua yang mereka miliki; waktu, harta, pikiran, dan tenaga untuk merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Meski mereka sendiri tidak menikmati kemerdekaan yang mereka perjuangkan.
Kita selalu merasa berhutang budi dan menaruh rasa kagum kepada mereka; yang berjuang dan berkorban demi kebahagiaan orang lain. Karena itulah kita berkenan memberikan gelar pahlawan kepada mereka. Pahlawan; yang terdiri dari kata pahala dan wan. Pahlawan; orang-orang yang memburu dan mendapatkan banyak pahala karena usahanya.
Lalu dorongan apa yang membuat mereka rela berjuang dan berkorban demi orang lain? Bukankah hidup sendiri juga sudah begitu melelahkan? Bukankah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri pun belum tentu terpuaskan? Apalagi jika harus melalui episode hidup yang penuh air mata dan darah?
Apakah mereka ingin punya nama baik dan dihormati? Atau apakah mereka ingin dipuja dan dikagumi oleh manusia? Nyatanya, ibu tak pernah mengharap balas jasa dari anak-anaknya. Para pahlawan sejati tak pernah diminta disebut atau diberi gelar pahlawan, atau jasadnya dikuburkan di makam pahlawan, atau namanya tertulis di dalam buku sejarah. Tidak! Bukan itu yang mereka cari.
Jawabannya adalah perpaduan yang harmonis antara keyakinan, harapan, dan cinta. Seorang ibu yakin bahwa melahirkan dan mendidik generasi adalah bagian dari cinta dan pengabdiaannya kepada Tuhan. Lahirnya generasi baru dari darah dagingnya akan membawa harapan hidup lebih baik bagi keluarganya maupun bangsa.
Para pahlawan sejati yakin bahwa untuk merubah wajah negerinya lebih baik, jalannya hanyalah berjuang dan berkorban. Jalan kepahlawanan itu adalah panggilan jiwa dan undangan menuju surga yang senantiasa bertalu-talu dalam jiwa mereka. Bayangan kenikmatan abadi surga dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah telah mengikis habis kenyamanan semu dunia. Kecintaan pada Allah yang turun menjadi rasa kasih sayang pada sesama telah mengusir jauh ego diri. Maka mereka maju menjemput takdir sejarahnya, membawa panji kebenaran dan melawan kejahatan dengan segenap jiwa; dengan semua yang mereka punya.
Mereka telah menanam, dan kita menuai. Mereka telah membangun, dan kita berteduh. Para pahlawan tak cukup hanya dikagumi, dan mereka pun memang tak berniat dikagumi. Yang mereka mau adalah jalan mereka diikuti dan diteladani. Dan Chairil Anwar mewakili mereka dalam bait puisi Karawang Bekasi:
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Mereka telah membuka jalan, akankah kita mulai melangkah? Mereka telah tinggalkan jejak, tergerakkah kita untuk mengikuti? Mereka telah mencatatkan nama mereka dalam sejarah dengan tinta emas, maukah kita menuliskan nama kita? Apakah kau calon pahlawan itu? Jika tidak, biarlah aku berseru pada diriku sendiri, jadilah pahlawan itu! [Mikromedia/F.Sa]
0 Response to "Di Jalan Para Pahlawan"
Posting Komentar